Darti Isyanti: DUNIA ANAK PETANI

 

MEMBUAT CERITA ANAK

DUNIA ANAK DILUPAKAN JANGAN

DUNIA ANAK PETANI

Oleh : Darti Isyanti, M.Pd

Di pagi yang cerah tanpak mentari semburat di ujung timur tampak cantik kemerahan. Sigra metalik meluncur dengan kecepatan di atas 100 km/jam. Mendekati pintu keluar tol perlahan namun pasti sang sopir mengurangi lajunya. Tampak disana oleh ku bentangan sawah yang ditumbuhi padi yang mulai menguning. Anak-anak bersenda gurau mengendarai sepeda menyusuri tepian jalan dengan berseragam. Terkenang akan peristiwa 35 tahun silam di kota ini.

Ya hari ini aku kembali, kembali ke desaku untuk liburan. Desaku terletak di ujung jawa tengah hampir perbatasan dengan Jawa Timur. Bahagia rasanya setelah beberapa tahun bisa pulang ke kampung halaman membawa kesuksesan dan kegembiraan. Binar-binar bahagia memenuhi hati ku.

Terbayang wajah teman-teman ku ketika di Sekolah Dasar Negeri Kunden II, ada sukarni yang biasa di sebut Menik, Marni, Sukatmi, Sulisni, Lina, ina, Wiji, Tono, Sukidi, Gatot, Susanto, Didik, Jumadi, Denik, Kaswan, dan Marsono yang belum lama ini sudah meninggalkan kita semua. Teman-teman satu kelas ku kala itu berjumlah 25 orang. Karena keterbatasan daya ingatku, aku tak hafal nama-nama temanku yang lain.

 Aku pertama datang ke desa Kunden dan bersekolah di SDN Kunden II memasuki kelas III, karena sebelumnya aku sekolah di SDN Karangmojo IV tidak jauh dari Desa Kunden. Ketika kelas II aku pindah ke Jakarta. Dan selanjutnya pindah kembali di Desa Kunden tempat Mbok tuo ( panggilan nenek di desaku) membesarkan bapakku.

Ketika Sekolah Dasar tepatnya kelas III, aku pindah dari Jakarta dan tinggal tinggal bersama mbok Tuo. Sejak itu maka seluruh aktifitasku, adalah aktifitas anak desa yang penuh dengan suka duka. Ketika pagi datang, aku segera menuju padasan (tempat berwudhu berbentuk bulat dan bawahnya terdapat pancuran yang di sumbat oleh potongan sendal jepit). Aku segera berwudhu dan menunaikan sholat subuh.

Kegiatan selanjutnya menyapu bagian dalam rumah dan kemudian menuju koen (kolam kecil kamar mandi yang terletak di dekat sumur di luar rumah induk). Biasanya aku mengisi koen sampai penuh. Aku mengisi koen dengan cara menimba dari sumur yang kedalamamnya 20 meter. Namun apabila aku terbutu-buru karena bangun kesiangan maka aku cukup mengisi dua ember saja. Satu ember untuk adik sepupuku dan satu ember lagi untuk aku mandi.

Jam 06.00 sambil mendengarkan lagu padamu negeri dan berita pagi melalui radio kecil aku berdandan menggunakan bedak tabur viva dan handbody citra. Biasanya mbok tuo menyiapkan sarapan dipiring berupa jenang (bubur dari beras yang di beri lauk sayur labu dan tahu yang diberi santan) atau terkadang jenang bubur kacang hijau yang dicampur dengan ketan rasanya manis dan gurih.

Setelah sarapan pagi aku berangkat sekolah dengan sepupuku namanya Suci, ia anak yang cantik kulitnya kuning langsat, perawakan badannya kecil dan rambutnya keriting, ia pandai berbicara. Setiap berangkat ke sekolah aku mengantarkan ke kelasnya kemudian aku menuju ke kelas ku. Teman-temanku di kelas baik-baik dan di sekolah aku selalu mendapatkan peringkat 10 besar.

Setiap pulang sekolah guruku selalu mengajarkan berbagai macam lagu pentatonis, lagu-lagu daerah yang lucu dan terkenang di dalam hati. Seperti gambang suling, pitik tukung, gundul-gundul pacul, babak pocung, ilir-ilir dan lain-lain. Terkadang kami juga menghafalkan lagu ambilkan bulan, tanah airku, bertenun, bangun pemuda-pemudi dan lain-lain. Selalu saja bahagia bila pulang sekolah.

Selepas pulang sekolah, aku melaksanakan sholat dhuhur di rumah. Kalau pelajaran agama di akhir pembelajaran maka kami sholat dhur bersama di masjid AL-Qudus yang berdampingan dengan sekolah. Tapi kalau pelajaran terakhir selain agama maka sata dan teman-teman segera pulang ke rumah. Saya ketika itu sholat menggunakan kain panjang yang diikat sebagai kerudung dan bagian tengah diikan di pinggang. Di Zaman itu walaupun mbok tuo dan pak tuo ku orang yang kaya namun untuk memperoleh alat sholat tidaklah mudah. Selain harganya sangat mahal juga dipasaran jumlahnya sangat terbatas.

Ada cerita unik, ketika kelas III, aku mulai menerapkan sholat 5 waktu dan ketika pulang sekolah seyogyanya aku segera berganti pakaian dan makan, maka siang itu berganti pakaian kemudian wudhu. Lama sekali mbok tuo memanggil-manggil aku untuk makan siang. Aku binggung antara harus menjawab panggilan atau melanjutkan sholat dhuhur. Akhirnya sampai pada pertengahan sholat aku menjawab panggilan mbok tuo, ”ya mbok sebentar sedang merapikan baju”. Aku ulang sholat dhuhurku dan ngebut sholat nya agar aku tak dipanggil lagi dan segera menuju dapur untuk makan. Sampai di dapur tak mungkin ku jelaskan mengapa aku lama di senthong (sebutan kamar tidur di desaku). Kalaupun ku jelaskan bahwa tadi aku sholat tentulah mbok tuo tidak mengerti apa itu sholat, karena mbok tuo dan pak tuo ku memang islam tapi tidak mengerti tata cara beribadah umat Islam. Hingga beberapa tahun kemudian pak lik parminku memberikan hadiah sajadah, mukena dan peci kepada mbok tuo dan pak tuo dan juga mendatangkan guru khusus untuk mengajarka tata cara sholat dan ibadah yang lain (setelah kepindahannku ke Jakarta kembali untuk melanjutkan ke SMP).

Setelah makan siang aku bergegas mengambil air untuk mengisi gentong (wadah air berbentuk bulat untuk keperluan memasak di dapur). Mbok tuo sangat senang bila air ghenthongnya penuh sampai luber. Ketika mengambil air di sumur tentunya aku mengambil air di sumur tetangga, mengambil air dengan cara ditimba, badanku yang kecil mungil dan terlalu payah menimba tak jarang bila antri aku dibantu oleh para pengantri pengambil air, salah satunya pak Pur yang mengisikan klenting ku (wadah air berbentuk bulat dan memiliki mulut di atasnya untuk pegangan kain) yang kini pak Pur menjadi lurah di desaku lebih dari satu periode.

 Setelah mengambil air di sumur selesai aku menuju kebon depan rumah untuk mencari kayu bakar, ranting kering atau daun-daun untuk digunakan sebagai bahan bakar memasak.  Sebelum waktu asar aku bergegas menuju bukit depan rumah untuk mencari rumput, kala itu mbok tuo punya sapi yang setiap harinya diberikan rumput sebagai makanan hewan ternak. Aku selalu membawa radio vaforitku setiap mencari rumput. Biasanya aku mencari rumput sendiri membawa tenggok kecil dan arit. Sambil mencari rumput aku mendengarkan cerita berseri ”Babat tanah leluhur” dan kontes lagu-lagu di radio.

Ada cerita lucu yang tak pernah aku lupakan di sepanjang hidupku. Ketika mencari rumput dengan asyiknya sambil mendengarkan cerita ”Babat tanah leluhur” maka aku membabat rumput yang tampak hijau ranum di hadapanku. Ternyata ketika rumput di tangan ada binatang kecil menuju bibirku radanya panas tak terperi. Sambil menahan sakit maka aku terus memenuhi tenggok ku dengan rumput dan segera pulang. Aku letakkan tenggokku dan aku segera mandi dan sholat asar kemudian bergegas ke masjid untuuk menumaikan sholat magrib.

Aku belum menyadari bahwa bibirku bengkak hanya saja terasa tebal, panas dan berat rasanya tidak nyaman. Ketrika aku sholat magrib dan ngaji ke rumah mbak Rohmah pun disana tidak ada yang menegurku atau berkomentar, mungkin karena situasinya gelap karena belum ada listrik. Kamipun mengaji masih menggunakan lampu petromak yang berbahan bakar minyak tanah.

Pernah ada suatu peristiwa yang sangat berkesan, ketika adik ustazdah yang bernama Mas Paidi pulang dari kuliah membantu menghidupkan lampu petromak ditengah-tengah anak-anak ngaji yang usia nya masih sekitar 10-12 tahun. Ia penuh peluh karena lampu petromak tak kunjung menyala dan anak-anak sudah gaduh mengelilingi lampu sambil berceloteh salah-satunya aku. Aku kala itu terdepan yang merasa unik melihat proses menyalakan lampu petromak pertama kali. Saat ini mas Paidi menjadi pimpinan pondok pesantren di desaku. Dan kala bertemu saling senyum bila mengenang peristiwa itu.

Kenangan kengan mas paidi bukanlah itu saja, tatkala saya SD kelas IV saat menanam kedelai. Mas Paidi memegang Taju ( Kayu yang ujungnya tumpul meruncing untuk melubangi tanah dan bertanam biji-bijian) sementara aku menanam sambil memegangn mangkok bibit kedelai. Karena mas Paidi adalah mahasiswa yang tak terbiasa memegang taju maka kewalahan menghadapi biji kedelai yang saya masukkan ke lubang tanah. Tak disangka beliau menjadi orang besar yang sederhana yang sangat dihormati orang sekampung.

Selesai mengaji biasanya ustadzah yang kami panggil mbak Rohmah mengantarkan kami pulang ngaji dari rumah ke rumah. Saat malam setelah Isya tanpa terang bulan terasa sangat gelap. Bagi kami anak-anak kecil sangat menakutkan. Ketika suasana seperti itu kami diantar sampai ujung jalan oleh mbak Rohmah. Kenangan itu tak pernah sirna dari ingatan, apalagi ngajinya kami gratis tidak dipungut biaya sedikitpun. Terkadang ketika panen pisang saba (pisang yang sangat besar dan paling enak di rebus) mbok tuo menyisakan 2 buah pisang untuk mbak Rohmah. Begitulah kami berkasih sayang di zaman itu.

Empat puluh tahun yang lalu di desan Kunden dalam seminggu kami bersekolah 6 hari. Hari Senin aku berseragam putih putih, hari selasa dan hari Rabu memakai seragam merah putih, hari Kamis memakai seragam putih-putih, hari Jumat berseragam merah putih dan hari Sabtu memakai seragam Pramuka. Kalau pelajaran oleh raga kami serentang menggunakan kaos berlogokan SDN Kunden dua dan putra puri menggunakan celana shot (celana berwarna putih di atas lutut).

Aku sangat senang sekali apabila pelajaran olah raga, kami para perempuan berganti baju di kamar mandi besar yang disekat dengan tembok-tembok setinggi bahu. Kami bergantian berjaga di pintu ketika berganti kaos olah raga. Ketika olah raga kami mencurahkan semua kegembiraan. Olah raga yang kami lakukan seperti lompat jauh, lompat tinggi , rouders dan kasti. Kasti adalah olah raga favorid kelas ku. Untuk mengisi waktu luang setelah olah raga kami bermain gobak sodor di halaman dengan menngunakan garis khayal. Karena halaman  setiap di garis maka garisnya akan hilang tertutup pasir halaman. Kami juga sangat senang bermain bentengan kebetulan di halaman banyak pohon besar yang rindang kami gunakan sebagai benteng. Seru sekali suasana kala itu.

Setiap hari Minggu aku juga bangun pagi. Setelah sholat Subuh dan mandi aku membeli bubur kesukaanku namanya jenang. Kerap kali kalau kesiangan sedikit jenang sudah habis dan aku sangat kecewa. Karena makan jenang bagiku seminggu sekali saja sudah sangat luar biasa, enak gurih dan pedas harganyapun Rp 25,- per bungkus. Setelah makan jenang maka aku membersihkan rumah dari sawang-sawang, menyapu halaman dalam, menyapu emper (teras) menyapu belakang dan samping rumah (teritisan) dan menyapu kebon serta jalanan. Aku cukup konsisten mebuat jawal menyapu dan mencari bebatuan kecil untuk di teritisan agar tanah teritisan tidak terbawa olh hujan. Mungkin karena tinggalk bersama mbok tuo dan pak tuo maka aku cukup tau diri bagaimana bersikap. Dari situlah penduduk desa mengenal saya anak yang rajin dan disayang oleh mbok tuo.  Memang sejak aku tinggal dengan mbok tuo tak sekalipun mama ku menjengukku. Kalau bapak ku sesekali ke  Kunden kalau mbok tuo ku sakit parah.

Tak ku sadari selama 4 tahun aku menjadi anak petani yang cukup baik dan tak pernah merengek. Bila ku renungkan betapa tangguhnya aku dikala itu. Setangguh-tangguhnya aku tapi pernah juga aku sakit babakan atau campak api yang membuat aku tak berdaya. Badan serasa panas. Air mata menetes begitu saja dari kelopak mataku. Saat itu pertamakalinya pak tuo mengendongku ke Bidan untuk berobat. Dalam hati aku bersyukur masih ada orang yang sangat menyanyangiku walaupun tak pernah terucap dari kata-kata. Pak tuo ku menolongku disaat yang tepat.

Kenangan dengan pak tuoku tentu bukan haya ketika aku digendong oleh nya, namun ketika panen kedelai dan setelah kedelai dibabat atau dipotong menggunakan arit lalu diikat menjadi sebuah bongkok’an besar dan dibawa pulang menggunakan gerobak. Saya bagian mendorong gerobak dan pak tuoku menjadi kudanya. Tapi setelah kelas VI menjadi sebaliknya, pak tuoku mendorong dan aku jadi kudanya. Saat itu aku sadar, aku mulai tumbuh besar dan pak tuo ku semakin menua. Jarajk antara sawah dan rumah mbok tuo sangatlah jauh saya rasakan waktu itu mungkin sekitar 6km. Jalan naik turun dan berkelok kami susuri bersama pak tuo. Terkadang jalanan  berkelok, turun dan terkadang naik. Saat gerobak naik menanjak dan kami tak sanggup untuk berjalan maka warga desa yang melihat kami membantu mendorong dan bahkan membantu jadi kudanya. Bahkan ada seorang pemuda yang membantu menjadi kuda saat kami membawa bongkok’an jerami namanya mas Nardi dan saat ini ia menjadi modin (panggilan untuk pejabat di KUA) Begitulah kami saling tolong menolong.

Saat sudah lulus sekolah dasar, bude ku kakaknya bapakku yang sejak kecil kupanggil mama menjemputku untuk tinggal di Jakarta. Aku dan beliau menuju Jakarta menggunakan bis. Petualangan ku menjadi anak petanipun berahir.

Banyak kenangan indah, banyak kenangan yang sangat menyenangkan di desaku. Walaupun tidak setahun sekali aku mudik namun kenangan dan pelajatran di desa hampir mewarnai seluruh kehidupannku saat ini. Aku bisa pulang ke desa setelah lulus SMA, hampir 6 tahun desaku ku tinggalkan dan orang-orang desapun mulai melupakan aku.

Alhamdulillah setelah punya suami dan anak, keluargaku rutin pulang ke desa dua tahun sekali. Namun sangat disayangkan ketika memandang wajah-wajah mereka sebagian besar aku tak kenal dengan mereka dan merekapun tak kenal dengan ku. Mungkin dengan berjalannya waktu di desaku banyak pendatang atau wajah kami yang mulai menua. Itulah aku anak petani yang memiliki segudang pengalaman dan peristiwa. Masih banyak lagi yang ingin kutumpahkan disini tentang masa kecilku yang sangat menyenangkan. Tentang sekolahku, tenytang lomba menyanyi, tentang kegiatan pramuka, tentang persami, tentang upacara se kecamatan, tentang latihan menari, tentang pesta panen (rasulan), tentang perayaan pernikahan saudara, tentang malam midodareni dan lain sebagainya.

Sigra silverku memasuki jalanan kecil yang sangat mulus, aku tersadar kalau aku sudah sampai depan rumahku. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam, tampak laki-laki tua membuka pintu dengan senyum bahagia namun hambar. Beliau adalah suami budeku yang kupanggil mama. Beliau orang Sulawesi yang hatinya tertambat di Kunden walau bude ku sudah tiada. Kini tidak ada bude ku (mama) dan mbok tuoku yang menjemput di pintu rumah. Fadiah Surat Alfatikhah untuk yang terkasih mbok tuoku, pak tuoku mama ku, lik Parmin yang membuat mamaku bahagia sebelum aku sukses. Terimakasih

Biodata penulis



Darti Isyanti, M.Pd lahir di Sukoharjo, usia 46 tahun memiliki suami bernama M.Johari dan seorang putra bernama Ahmad Zakaria Pradana. Mengajar sejak tahun 1997 di SDS Al-Irsyad 6 tahun , di TK dan PAUD  Baburridho selama 14 tahun dan saat ini mengajar di SDN Kalibaru 07 kurang lebih 6 tahun sampai sekarang. Pengalaman organisasi ketua Himpaudi kecamatan, ketua wilayah di TK dan ketua PKG se Jakarta Utara 2. Saat ini saya baru selesai mengikuti program guru penggerak angkatan V.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Darti Isyanti/Hari ke-2 : Produktif diusia senja

Darti Isyanti/ ke 11: Mengelola Majalah Sekolah

Darti Isyanti/ke- 6 : Teknik menulis untuk situs portal berita